"Dari mana le?", tanya si Mbah kepadaku.
"Main bola di lapangan, Mbah.", jawabku sambil meraih gelas air di atas meja. Kutuang air ke gelas dan langsung kuhabiskan tanpa tersisa. Kering di tenggorokan cepat hilang juga akhirnya.
"Main sama siapa saja le?", lanjut si Mbah sambil menyeruput kopi pahit di tangannya.
Masih tersengal-sengal, kujawab, "Banyak Mbah, ada Dika, Tono, Gandi, Jumio, si Rama juga ada tadi".
"Biasa Mbah, kalo sore paling enak main bola di lapangan samping Masjid".
"Di sana adem Mbah, apalagi di bawah pohon Sono Kembang yang besar itu", tangkasku sambil menyeka keringat.
"Iya, Mbah waktu kecil juga sering main di sana", sahut Mbah sambil tersenyum.
"Oh, sudah lama juga ya Mbah pohon itu, pantesan pohonnya besar dan rindang sekali".
Sambil menggeser posisi duduknya, Mbah sedikit bercerita. "Sejak Mbah masih kecil, pohon itu sudah ada di sana, Memang belum terlalu besar seperti sekarang. Tapi lumayanlah untuk tempat teduh kalau panas dan hujan".
"Semua anak-anak suka pohon itu, karena sering jadi tempat kumpul main bola, layangan atau main apa saja di sana", lanjut si Mbah bercerita masa kecilnya.
Aku melihat ke arah lapangan, seingatku memang pohon itu unik. Semua teman-temanku suka bermain di sana. Pohon Angsana, begitu sebutan Bapakku saat dulu pernah kutanya tentang pohon itu.
Angsana atau Sonokembang adalah sejenis pohon penghasil kayu berkualitas tinggi dari suku Fabaceae (Leguminosae, polong-polongan). Kayunya yang keras, kemerah-merahan dan cukup berat menjadi komoditi perdagangan yang bernilai tinggi.
Pohon ini kadang menjadi raksasa rimba, bisa mencapai 40 meter dengan diameter batang sampai 2 meter. Batangnya beralur, rindang, dedaunannya bertajuk lebat serupa kubah, dengan cabang-cabang yang merunduk sampai ke bawah. Kulit kayunya (pepagan) berwarna abu-abu kecoklatan, memecah serupa sisik kasar.
Apabila dilukai pepagan ini mengeluarkan getah bening kemerahan (kino) dan akan mengental menjadi merah gelap yang disebut sangre de drago (darah naga), dan memiliki daya obat astringensia.
Dengan warna dan motif serat kayunya yang indah kemerahan, pohon ini terkenal sangat kuat, awet dan tahan cuaca, wajar jika punya nilai tinggi sebagai bahan mebel atau panil kayu dekoratif.
Namun di kampungku, pohon ini memang sengaja di rawat penduduk kampung karena asas manfaatnya yang sangat terasa. Anak-anak suka bermain bola dan layangan di sana, anak-anak perempuan juga sering kumpul di sana sekedar bemain tali atau apa pun yang mereka bawa.
Orang tua juga tidak sulit mencari anaknya yang belum pulang, karena biasanya memang di sanalah anak-anak suka berkumpul. Sono kembang di kampungku memang memang melegenda dan sudah jadi icon sendiri.
Seingatku, pohon serupa juga ada di Kebun Raya Bogor. Beberapa tahun lalu aku diajak Bapak Ibuku plesiran keluarga ke Bogor sempat melihat pohon ini. Ia juga besar bahkan menjadi raksasa Kebun Raya, sama rindangnya dengan Sonokembang di kampungku.
Sama-sama adem jika berada di bawahnya, khususnya bagi pengunjung Kebun Raya yang ingin berteduh dari panasnya Kota Bogor yang sudah tidak lagi menjadi kota hujan. Bedanya, di Kebun Raya Bogor ini, pohonnya memiliki identitas, riwayat dengan stempel dan sertifikat lengkap.
Namun jika dilihat dari manfaat, Angsana di kebun raya ini memang sengaja ditanam untuk "sekedar" menjadi "cagar budaya". Ia hanya untuk dilihat dan dikenal sebagai pohon Angsana.
Beda dengan Sonokembang di kampungku yang menjadi idola anak-anak dan tempat berlabuhnya perhatian para ibu yang sedang mencari anak-anaknya yang belum pulang jika terlalu sore bermain.
Pohon yang pertama sekedar ditanam untuk menjadi pengingat identitas budaya dan pengetahuan, sementara pohon yang kedua justru tumbuh alami dan memiliki berjuta manfaat bagi penduduk kampung. Pohon pertama punya nama latin keren yaitu PTEROCARPUS INDICUS, semantara pohon di kampungku cukup terkenal dengan nama Sonokembang.
Cahaya redup matahari membuyarkan lamunanku. "Ah, sinar matahari sudah terlalu gelap", pikirku sambil melongok ke arah langit yang sudah mendekati maghrib.
"Mandi dulu Mbah", sahutku ke si Mbah yang sedang merapihkan kopiahnya.
"Iya", sahut si Mbah yang juga ikut berdiri berjalan perlahan ke luar menuju masjid.
sarang bango,nisfu sya'ban 1442 h
---
Note:
Tulisan ini dibuat dan didedikasikan kepada seluruh teman-teman pelatihan Edutech Madrasah (Eduma) yang sudah atau belum berhasil dalam Exam Google Certified Educator (GCE) Tahun 2021. Pelatihan Eduma memang luar biasa, baik peserta maupun pelatih sama edannya. Sekalipun pelatihan sudah selesai, untuk mencapai Exam dibuat meeting marathon setiap malam sampai pagi.
Apapun hasilnya, sebagaimana disampaikan Pa Ade Rohman, "Tetap semangat. Lulus memang penting, tapi yang lebih penting adalah pengetahuan yang sudah didapat, dan tentunya bisa diterapkan di lembaga masing-masing".
Dalam istilah Pa Catur Yoga Meiningdias yang selalu memotifasi teman-teman, "Semangat bu", "Semangat pa, yang penting ilmu sudah diterapkan"
Yup, sertifikat memang penting, tapi yang lebih penting adalah selalu haus dengan pengetahuan dan menerapkan ilmu di mana pun kita berada. Itulah ladang shalih kita ....
"Jadilah Senokembang di mana pun kita berada, jangan sekedar menjadi Pterocarpus Indicus untuk dipajang di cagar budaya".
#eduma
Jakarta, 28 Maret 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar